I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya mewujudkan visi dan misi program KB pada era globalisasi, reformasi dan demokratisasi akan selalu mengacu dan memperhatikan perubahan lingkungan strategis serta isu-isu penting yang berkembang dimasyarakat seperti hak-hak reproduksi remaja, pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender, kemiskinan dan hak asasi manusia.
Berpijak pada kesadaran bahwa program KB adalah tanggung jawab dan panggilan tugas kita bersama yang merupakan program jangka panjang, karena dampaknya baru bisa dirasakan beberapa dasa warsa kedepan, maka kalau berhasil yang akan menikmati adalah kita dan anak cucu kita, namun sebaliknya kalau sampai gagal, tentunya juga kita dan anak cucu kita kelak yang akan merasakan akibatnya.
Pelaksanaan program KB di Indonesia menunjukan hasil yang cukup baik, hal ini bisa dilihat dengan telah semakin meningkatnya pemahaman dan diterimanya program KB dimasyarakat. Ini semua tidak terlepas karena adanya dukungan serta komitmen politis yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat dan penerapan sistim manajemen KB secara baik dan konsisten hingga ketingkat lini lapangan.
B. Tujuan
1. Mengetahui masalah kesehatan reproduksi laki-laki.
2. Membahas kebijakan kesehatan reproduksi dan kebijakan kependudukan di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
Tahun-tahun belakangan ini, banyak program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi tertarik kepada topik laki-laki dan kesehatan reproduksi. Program-program tersebut melihat bahwa laki-laki mempunyai pengaruh yang penting dalam kesehatan perempuan dan anak-anak maupun kebutuhan kesehatan reproduksinya sendiri. Dalam beberapa situasi lain, laki-laki juga dapat berperan sebagai pengantar ibu ke pelayanan kesehatan reproduksi.
Program KB juga harus menemukan cara bagaimana mengatasi beberapa tantangan yang spesifik atau penghalang yang berkaitan dengan laki-laki, termasuk:
1. Kurangnya informasi tentang perspektif laki-laki yang dapat digunakan untuk membantu merancang program-program yang sesuai.
2. Ketidaknyamanan laki-laki; karena selama ini mereka tidak termasuk ke dalam pelayanan, banyak diantara mereka merasa bahwa pelayanan tersebut bukan tempatnya atau merasa tidak diperhatikan dalam klinik-klinik kesehatan reproduksi.
3. Keterbatasan metode kontrasepsi yang ada untuk laki-laki.
4. Sikap negatif dari para pembuat kebijakan dan provider pelayanan terhadap laki-laki.
5. Kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung, seperti larangan terhadap iklan kondom.
6. Sumber daya yang terbatas, seperti kurangnya staf laki-laki terlatih, klinik untuk laki-laki, jam-jam yang sesuai atau pelayanan yang berbeda untuk laki-laki.
Selain tantangan-tantangan yang telah disebutkan di atas, program juga harus menyertakan cara-cara yang bisa ber-kontribusi secara positif terhadap kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan, serta perubahan normatif terhadap isu-isu jender.
A. Masalah Kesehatan Reproduksi Laki-Laki
Sebagaimana perempuan, laki-laki mempunyai masalah kesehatan reproduksi yang dapat berubah menurut siklus kehidupan. Walaupun program-program kesehatan telah mulai menjangkau laki-laki sebagai mitra dalam menjamin kesehatan reproduksi yang baik, program kesehatan perlu memahami perkembangan dari kebutuhan ini sebagai faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual laki-laki, tujuan dan persepsi mereka.
Anak laki-laki di pengaruhi oleh budaya dan praktek-praktek medis yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi segera setelah mereka lahir. Contohnya, di beberapa daerah, sunat pada bayi laki-laki merupakan suatu kebiasaan (di beberapa daerah sunat dilakukan ketika anak laki-laki mencapai usia remaja atau tidak dilakukan sama sekali); penelitian yang dilakukan pada negara berkembang menunjukkan bahwa laki-laki yang di sunat menurunkan risiko terkena infeksi HIV sampai 50% (Asmarinah, 1997).
Ketika anak laki-laki mencapai masa pubertas, mereka mulai merasakan perubahan fisik, termasuk perubahan suara, munculnya alat kelamin sekunder, serta meningkatnya perkembangan jaringan otot. Perubahan-perubahan fisik ini seringkali diikuti dengan perubahan emosional dan perilaku, termasuk perkembangan perasaan seksual, belajar tentang hal-hal seksual, dan pertanyaan-pertanyaan seputar isu seks, seperti ukuran penis, orientasi seksual dan masturbasi. Pengalaman dan respon dari anak laki-laki terhadap perubahan ini membentuk tingkat yang lebih tinggi terhadap peran-peran jender dan antisipasi terhadap budayanya. Anak laki-laki juga rentan terhadap penganiayaan seksual.
Pada saat remaja, laki-laki yang menjadi seksual aktif, mereka memberikan perhatian yang hampir sama dengan remaja perempuan, yaitu masalah-masalah seputar seksualitas, hubungan intim, norma-norma sebaya, dan pencegahan kehamilan tidak diinginkan serta infeksi saluran reproduksi. Isu-isu ini dapat mempengaruhi laki-laki dan perempuan pada saat dan tingkat yang berbeda dalam kehidupan reproduksinya. Pencegahan dan menyikapi infeksi saluran reproduksi, termasuk HIV/AIDS, harus menjadi salah satu kunci dari masalah kesehatan pada laki-laki yang telah aktif seksual.
B. Kebijakan Kependudukan
Kebijakan kependudukan meliputi dua hal yang mendasar, yaitu:
• Pengendalian fertilitas
Adalah hak perempuan dan laki-laki untuk mengambil keputusuan tentang kapasitas reproduksi mereka.
• Pengendalian penduduk
Usaha pihak luar pemerintah nasional, badan-badan internasional, atau lembaga agama untuk mengendalikan hak keluarga dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak yang diinginkan.
Oleh karena itu, kebijakan pendudukan menjadi bagian dari pendekatan kesejahteraan karena fokusnya adalah perempuan sebagai ibu atau calon ibu. Banyak hal dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat fertilitas seperti : kondisi kesehatan yang lebih baik, penghapusan buta aksara, peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan dan pemberdayaan perempuan. Namun tindakan ini tidak langsung berpengaruh dan efeknya tidak segera terasakan . Lain halnya dengan program Keluarga Berencana (KB). Pada masa pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan program nasionalbesar. Dalam dua dasawarsa penerapan KB di Indonesia, tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3 kelahiran perempuan, sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000 . Hal ini dicatat sebagai keberhasilan Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan Indonesia dijadikan model teladan negara berkembang.
Angka-angka demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target. Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka tersebut, khususnya menyangkut hak reproduksi perempuan, seperti:
1. Pengabaian hubungan gender KB berasumsi bahwa hasrat seks laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan, sedang perempuan sendiri dilihat sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
2. Pembatasan hak perempuan untuk memilih alat kontrasepsi. Tidak lengkapnya informasi yang tersedia mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa metoda seperti IUD dan metoda hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi perempuan (selama beberapa tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang untuk hamil hanya selama beberapa jam dalam setiap siklus haid. Beberapa resiko kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit kepala, tidak banyak dibicarakan di Indonesia dan negara berkembang lain, berbeda dengan keadaan di negara Barat. Cara kontrasepsi berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom) tidak dimasukkan dalam penyuluhan dan peralatan KB. Perempuan merupakan obyek utama program KB dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang tersebut, hal ini terlihat dari penggunaan kontrasepsi di Indonesia tahun 1994/1995 sebagai berikut:
Alat Kontrasepsi Persentase
Pil 31,4%
Suntik 30,9%
IUD 22,2%
Implant/Norplant 8,0%
Tubektomi 4,5%
Kondom 1,6%
Vasektomi 1,4%
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa hanya 3% dari alat kontrasepsi yang ditujukan kepada laki-laki, sementara 97% ditujukankepada perempuan.
3. Makin mahalnya harga alat kontrasepsi. Sejak munculnya krisis ekonomi tahun 1997, maka harga alat kontrasepsi meningkat pesat. Hal ini mengakibatkan banyaknya ibu hamil yang melakukan cara-cara yang beresiko tinggi untuk menggagalkan kehamilannya seperti: aborsi, minum jamu, pijat, dan sebagainya.
4. Pendekatan target dan akibatnya. Pendekatan target mengakibatkan pemeriksaan medis yang sembrono, informasi yang tidak memadai tentang efek sampingan cara kontrasepsi, pelayanan kontrasepsi yang tidak memandang kebutuhan khusus perempuan, penolakan untuk mencabut IUD, paksaan menjalankan aborsi.
Besarnya tekanan sosial terhadap hubungan seksual pra-nikah dan kebijakan kependudukan yang menekankan pada penundaan perkawinan sampai usia tertentu, mempunyai resiko yang besar terhadap perempuan. Penundaan perkawinan pada perempuan yang hamil sebelum menikah harus memutuskan apakah tetap memelihara anaknya diluar nikah atau melakukan pengguguran. Dua pilihan ini sama sulitnya. Beberapa kebijakan untuk mengantisipasi kecenderungan aktivitas seksual yang semakin muda saat ini membawa resiko terhadap kesehatan reproduksi :
1. Memelihara anak di luar nikah akan beresiko terhadap tekanan social, contoh: perdebatan apakah seorang pelajar yang hamil harus dikeluarkan dari sekolahnya atau cukup diberikan cuti saja). Apabila remaja perempuan tetap mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi akan lebih tinggi dibanding perempuan usia 20 tahun ke atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, bayi lahir dengan berat badan tidak normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
2. Sementara aborsi akan beresiko terhadap kesehatan reproduksinya (apalagi bila dilakukan dengan cara-cara non medis) dan tidak akan mendapat perlindungan hukum.
3. Pendidikan seks terhadap remaja yang minim, disertai dengan kondisi sosial yang mentabukan seks pra-nikah, mengakibatkan minimnya pengetahuan, akses, dan cara penggunaan kontrasepsi modern. Hal ini mengakibatkan remaja menggunakan cara-cara tradisional (pijat, minum jamu, misalnya) untuk menggugurkan kehamilannya.
4. Apabila remaja perempuan tetap mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi akan lebih tinggi dibanding perempuan usia 20 tahun ke atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, bayi lahir dengan berat badan tidak normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
C. Peran Pria dalam Program KB di Indonesia
Berbagai permasalahan tersebut diatas jelaslah bahwa kematian ibu itu diebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya disebabkan oleh faktor kesehatan semata. Masih banyak faktor lain yang menjadi pengikut seperti sosial, budaya, ekonomi termasuk gender dan Keluarga Berencana.
Dengan demikian program KB mempunyai pengaruh positif dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI) dan penurunan angka kematian Bayi (AKB). Sedangkan Peran Pria dalam program KB dan Kesehatan Reproduksi yang berhubungan dengan kesehatan maternal adalah seperti menjadi akseptor KB, mendukung istri menggunakan kontrasepsi, menrencanakan jumlah anak bersama pasangannya, membantu mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan, menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan.
Hal-hal yang dapat diLakukan
Banyak hal dapat dilakukan program KB dalam kesehatan maternal antara lain:
Pertama, mensosialisasikan ‘4 Terlalu’ kepada masyarakat. Hal ini merupakan langkah awal yang dapat dilakukan pria dalam merencanakan keluarganya, seperti menentukan berapa jumlah anak yang diinginkan dan berapa tahun jarak kelahirannya. Perlu disadari juga bahwa kematian maternal menjadi berisiko tinggi jika terlalu banyak anak, terlalu tua, dan terlalu muda pada saat melahirkan.
Usia kurang dari 20 tahun dan lebih tua dari 35 tahun, jumlah anak lebih dari empat, serta jarak kehamilan kurang dari 2 tahun. Seorang ibu setelah melahirkan memerlukan dua atau tiga tahjun untuk dapat memulihkan kondisi tubuhnya dan mempersiapkan diri untuk persalinan berikutnya. Tanpa perencanaan, kehamilan yang tidak dikehendaki umumnya diakhiri dengan aborsi, dan praktik aborsi yang tidak aman justru meningkatkan kematian maternal.
Kedua, mendukung penggunaan kontrasepsi baik untuk pria maupun untuk istrinya. Suami juga sebaiknya ikut menemani istrinya menemui konselor KB atau petugas kesehatan, sehingga mereka bisa bersama-sama mengetahui metode KB yang tersedia dan memilih salah satu metode yang tepat, mengantisipasi jika terjadi efek samping dan bagaimana cara mengatasinya.
Hasil penelitian secara random menemukan bahwa penggunaan kontrasepsi meningkat secara signifikan pada istri yang suaminya ikut dalam konseling kontrasepsi dibandingkan dengan istri yang suaminya tidak ikut terlibat dalam konseling. Penggunaan KB memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kematian ibu sekitar 20 persen, bila mampu mencegah kehamilan yang tidak perlu terjadi atau tidak diinginkan.
Ketiga, mensosialisasikan Suami Siaga untuk menghindari ‘3 Terlambat’. Keterlambatan seringkali berkontribusi terhadap kematian ibu ketika terjadi komplikasi kahamilan. Tiga keterlambatan yang berisiko terhadap kesehatan ibu, yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat ketempat pelayanan, dan terlambat memperoleh pertolongan medis. Suami dan anggota keluarga lainnya memegang peranan penting dalam mendapatkan pelayanan sesegera mungkin. Suami biasanya menjadi pemegang keputusan ketika kondisi istri dalam keadaan membutuhkan sesegera mungkin.
Sebagian besar kematian ibu yang terjadi antara tiga hari setelah persalinan, disebabkan karena adanya infeksi dan perdarahan. Hasil penelitian menemukan kematian ibu dapat dicegah bila suami dapat mengidentifikasi komplikasi-komplikasi potensial setelah persalinan dan selalu siaga untuk mencari pertolongan jika hal itu terjadi
Keempat, mendorong agar setiap persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Suami dapat merencanakan kapan dan dimana persalinan sebaiknya dilakukan sehingga tidak terjadi keterlambatan dalam memperoleh pertolongan persalinan. Untuk itu, perlu disiapkan kendaraan dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk persalinan dan anak yang baru lahir, serta menyediakan biayanya.
Kelima, sosialisasi hidup sehat bagi ibu hamil. Suami istri perlu mendapatkan pelayanan antenatal yang tepat, pemeriksaan ini langkah penting demi kesehatan dan keselamatan istri dan anak yang dikandung. Hal ini agar ibu yang sedang hamil terhindar dari anemia dan kekurangan Vit A.
Untuk menurunkan angka kematian ibu, diperlukan gerakan nasional yang juga melibatkan semua pihak, dengan program dan kegiatan yang komprehensif, terkait, terukur dan seimbang yang pada akhirnya peran pria/suami dalam program KB akan mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan KB, peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, peningkatan penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), dan berpengaruh positif dalam mempercepat penurunan angka kelahiran total (TFR), penurunan angka kematian ibu (AKI), dan penurunan angka kematian bayi (AKB).
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Masalah kesehatan reproduksi pada ki-laki yaitu:
• Laki-laki mempunyai masalah kesehatan reproduksi yang dapat berubah menurut siklus kehidupan.
• Dipengaruhi oleh praktek-praktek medis yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi setelah mereka lahir.
• Ketika masa pubertas.
• Ketika masa remaja.
2. Kebijakan kependudukan meliputi dua hal yang mendasar, yaitu:
• Pengendalian fertilitas
Adalah hak perempuan dan laki-laki untuk mengambil keputusuan tentang kapasitas reproduksi mereka.
• Pengendalian penduduk
Usaha pihak luar pemerintah nasional, badan-badan internasional, atau lembaga agama untuk mengendalikan hak keluarga dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Gender. http://www.duniaesai.com/gender/gender21.html. Diakses
tanggal 30 Mei 2009.
Anonim. 2009. Program KB pada Laki-Laki.http://www.kesrepro.info/?q=node/201.
Diakses tanggal 30 Mei 2009.
Anonim. 2009. Laki-Laki dan Kesehatan Reproduksi
http://www.rho.org/html/menrh.htm. Diakses 1 Juni 2009
Anonim. 2009. Peran Laki-Laki dalam Reproduksi/KB. http://purbalinggakab.go.id.
Diakses 1 Juni 2009.
Anonim. 2009. Peran Pria melalui Program KB dalam Kesehatan Maternal.
http://bkkbn.go.id/gema pria/profile.php. Diakses 1 Juni 2009.
Asmarinah dan Moeloek, N. 1997. Testosterone sebagai Alternatif pengembangan
Metode Kontrasepsi Pria. Maj.Kedok.Indon.
Terima kasih untuk :
Fakih Hidayat G1B008018
Faaris Abdi Rahman G1B008002
Ratna Indah Pertiwi G1B008034
Tri Wulan Nurmanita G1B008050
Yannita KejoraG1B008068
Yunita Aggraeni G1B008096
Nurbaiti Fadhilah G1B008112
Eko Fitrianto L1A005006
Komentar
Posting Komentar