BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini masih belum dapat teratasi secara maksimal. Meskipun telah ada deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 1993, namun tampaknya belum dapat mengungkap secara lebih dalam berbagai kasus kekersan terhadap perempuan. Menangani kasus kekerasan terhadap perempuan memang bukan perkara yang mudah, hal ini disebabkan banyaknya kasus yang tidak terungkap di permukaan seperti halnya fenomena gunung es yang berarti kasus yang terjadi di masyarakat lebih banyak dari kasus kekerasan yang dilaporkan, sehingga penanganan kasus tersebut belum bisa menyeluruh dan optimal.
Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu issue yang menarik terutama di tengah-tengah arus globalisasi dimana teknologi dan akses informasi berkembang dengan sangat cepat. Tidak menutup kemungkinan dengan perkembangan teknologi dan akses informasi, kasus kekerasan terhadap perempuan dapat terekspose dan terungkap kepermukaan. Data yang dihimpun oleh beberapa lembaga tentang kasus kekerasan terhadap perempuan seperti Komisi Nasional Perempuan mencatat peningkatan jumlah kekerasan meningkat 213 persen dan mencapai angka 54.425 kasus pada tahun 2008 di bandingkan tahun sebelumnya (mardoto, 2009).
Beberapa Negara, kasus kekerasan terhadap perempuan juga menunjukan jumlah yang relatif tinggi. Data yang dikeluarkan UNIFEM (United Nations Development Fund for Women) tentang kekerasan menunjukan bahwa di Turk jumlah perempuan yang mengalami kekerasan oleh pasangannya mencapai 57,9 % pada taun 1998. Di India, jumlahnya mencapai 49% pada tahun 1999, di Amerika Serikat jumlahnya mencapai 22,1 %. Di Banglades, laporan terakhir tahun 2000 menyebutkan 60 % perempuan menikah mengalami kekerasan oleh suami. Di Indonesia sendiri, sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 % dari total penduduk Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan (Sukerti, 2008).
Kasus kekerasan yang dialami perempuan 90 % terjadi dalam rumah tangga. Kasus tersebut meningkat dua kali lipat pada tahun 2008 dari tahun sebelumnya. Mayoritas perempuan mendapatkan kekerasan berupa kekerasan ekonomi, yaitu sebanyak 6.800 orang dari 46.882 kasus kekerasan terhadap istri. Mitra Perempuan mencatat perempuan yang mengalami kekerasan psikis menduduki urutan pertama kekerasan dalam rumah tangga. Urutan selanjutnya, perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 63,99 %, perempuan yang ditelantarkan ekonominya sebanyak 63,69 %, kekerasan seksual sebanyak 30,95 % ( Yunita, 2006). Dari data tersebut menunjukan bahwa dampak dari kekerasan yang dialami perempuan tidak dari segi fisik saja tetapi juga berdampak pada masalah psikologi.
B.RUMUSAN MASALAH
Apakah ada hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan tingkat ekonomi, pendidikan, budaya, gender, dan interaksi sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
Perempuan merupakan makhluk yang sangat rentan terhadap tindak kekerasan. Kasus kekerasan perempuan terjadi selama ini dialami tidak lepas dari status sosial perempuan itu sendiri. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2001), status adalah keadaan atau kedudukan orang atau badan dan sebagainya dalam hubungannya dengan masyarakat dan sekitarnya. Sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Sehinggan status sosial perempuan dapat diartikan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Menurut Sukanto Soerjono (1990) dalam Widyastuti (2009), status sosial atau kedudukan sosial adalah tempat secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya.
Menurut Widyastuti (2009), status perempuan mencakup dua aspek yaitu aspek otonomi perempuan dan aspek kekuasaan sosial. Aspek otonomi permpuan dideskripsikan sejauh mana perempuan dapat mengontrol ekonomri atas dirinya dibanding dengan pria. Sedangakan aspek kekuasaan sosial menggambarkan seberapa pengaruhnya perempuan terhadaporang lain di luar rumah tangganya. Status perempuan sendiri meliputi status reproduksi dan status produksi. Status reproduksi yaitu perempuan sebagai pelestari keturunan. Apabila perempuan tidak mampu melahirkan anak, maka status sosialnya dianggap rendah rendah dibanding dengan permpuan yang bisa mempunyai anak. Sedangkan status produksi yaitu sebagai pencari nafkah dan bekerja di luar. Santrock (2002) dalam Widyastuti (2009) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja akan meningkatkan harga diri. Perempuan yang bekerja mempunyai status yang lebih tinggi dibaning dengan perempuan yang tidak bekerja.
Adanya status perempuan dalam masyarakat, maka akan memunculkan peran permpuan itu sendiri dalam kehidupan masyarakat. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2001), peran berarti tingkah lakuyang diharapkan yang dimiliki perempuan sehubungan dengan kedudukannya dalam masyarakat. Menurut Soekanto Soerjono (1990) dalam Widyastuti (2009), peranan (role) merupakan dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.
Kartono Kartini (1992) dalamWidyastuti (2009) menjelaskan peran perempuan dalam kedudukannya dalam keluarga, yaitu (1) ibu rumah tangga penerus generasi. Perempuan berperan aktif salam peningkatan kualitas generasi penerus sejak dlam kandungan. (2) istri dan teman hidup patner seks. Sikap istri mendampingi suami merupakan relasi dalam hubungan yang setara sehingga dapat tercapai kasih sayang dan kelanggengan perkawinan. (3) Pendidik anak. Anak memperoleh pendidikan sejak di dalam kandungan. Memberikan contoh berperilaku yang baik karena anak belajar berperilaku dari keluarga ibu dapat memberikan pendidikan akhlaq, budi pekerti, pendidikan masalah reproduksi. (4) pengatur rumah tangga. Perempuan menjaga, memelihara mengatur rumah tangga, menciptakan ketenangan keluarga. Istri mengatur ekonomi keluarga, memelihara kesehatan keluarga, menyiapkan makanan yang bergizi tiap hari, menumbuhkan rasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap sanitasi rumah tangga juga menciptakan pola hidup sehat jasmani, rohani dan sosial.
Perempuan, dalam menjalankan perannya dalam kedudukannya dalam rumah tangga sering mendapatkan suatu tindak kekerasan. Kasus kekerasan alam rumah tangga merupakan kasus kekerasan tertinggi yang dialami perempuan hingga mencapai 90% dari semua kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran. Dalam artikel yang diterbitkan oleh IDLO mencantumkan Undang-undang perlindungan perempuan yaitu Pasal 1 (1) Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan sendiri dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu (1)kekerasan psikis berupa mencemooh, mencerca, menghina, memaki, mengancam, melarang berhubungan dengan keluarga atau kawan dekat/masyarakat, intimidasi, isolasi, melarang istri bekerja. (2) kekerasan fisik berupa memukul, membakar, menendang, melempar sesuatu, menarik rambut, mencekik, dll. (3) kekerasan ekonomi berupa tidak memberi nafkah, memaksa pasangan untuk prostitusi, memaksa anak untuk mengemis, mengetatkan istri dalam keuangan dalam rumah tangga, dll. (4) kekerasan seksual berupa pemerkosaan, pencabulan, pemaksaan kehendak atau melakukan penyerangann seksual, berhubungan dengan istri tetapi istri tidak menginginkan (Widyastuti, 2009).
Kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari issue gender dan jenis kelamin. Menurut Kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA (2001) dalam Widyastuti (2009), gender merupakan perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman akibat kontruksi sosial. Sedangkan jenis kelamin atau seks diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Beberapa teori menjelaskan mengenai gender. Menurut Kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA (2001) dalam Widyastuti (2009), ada 3 teori tentang gender yaitu teori nuture, teori nature dan teori equilibrium/keseimbangan. Teori nurture menjelaskan suatu rumusan yang dibentuk oleh masyarkat mengakibatkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dianggap sama dengan kaum yang berkuasa/penindas (Borjuis), sendangkan kaum perempuan sebagai kaum yang tertindas, terperdaya (proletar). Teori nature memandang adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki merupakan takdir Tuhan yang mesti diterima manusia sebagai makhluk ciptaannya. Adanya perbedan secara biologis merupakan pertanda perbedaan tugas dan peran yang mana tugas dan peran tersebut ada yang dapat digantikan tetapi ada yang tidak karena takdir alamiah. Teori equilibrium/keseimbangan menjelaskan hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang saling menyempurnakan, karena setiap laki-laki dan perempuan memiliki kelemahan dan keutamaan masing-masing, harus saling bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Adanya issue gender yang muncul,erat kaitanya dengan munculnya diskriminasi gender, termasuk kekerasan seperti suami yang memperketat istri dalam urusan ekonomi alam rumah tangga, suami melarang istri bersosialisasi dimasyarakat, suami membakar dan memukul istri. Alasan yang menjadi penyebab tindak kekerasan oleh pria lebih disebabkankarena hilangnya control terhadap arah hidup, maka pria mungkin menggunakan kekerasan untuk mengendalikan hidup orang lain, walaupun sikap ini salah, misalnya (1) tindakan kekerasan dapat mencapai suatu tujuan, bila terjadi konflik tanpa harus musyawarah kekerasan merupakan cara cepat penyelesaian masalah, dengan melakukan kekerasan pria merasa hidup lebih “berarti” kareana dengan berkelahi maka pria merasa menjadi lebih digdaya dan pada saat melakukan kekerasan pria merasa memperoleh “kemenangan” dan mendapatkan apa yang dia harapkan, maka korban akan menghindari pada konflik berikutnya karena untuk menghindari rasa sakit. (2) pria ia merasa berkuasa atas wanita. Bila pria merasa mempunyai istri “kuat” maka dia berusaha untuk melemahkan wanitaagar merasa tergantung padanya atau membutuhkannya. (3) Ketidak tahuan pria. Bila latar brlakang pria dari keluargayang selalu mengandalkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan masalah dan tidak menmengerti cara lain maka kekerasan merupakan jalan pertama da utama baginya sebagi cara yang jitu setiap ada kesulitan atau tertekan karena memang dia tidak pernah belajar cara lain untuk bersikap (Widyastuti, 2009).
Menurut Sukerti (2009), Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut di atas terjadi karena adanya keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki, bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian maka perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan sewenangwenang. Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki. Sistem ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan bahkan sampai pada tingkat kelas tinggi. Mulai dari individu, keluarga, masyarakat dan Negara. Dalam hal ini budaya yang berkembang pada suatu daerah berpengaruh terhadap gender .
Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri
atau terjadi begitu saja. Secara prinsif ada akibat tentu ada penyebabnya. Dalam
kaitan itu Fathul Djannah (2002) dalam Sukerti (2009) mengemukakan beberapa faktornya yaitu:
1.Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.
2.Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.
3.Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.
4.Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.
5.Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
6.Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Faktor ekonomi merupakan penyebab paling tinggi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Ketimpangan antara pendapatan suami dan istri menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Pendapatan suami yang lebih tinggi dapat menimbulkan ketergantungan pada pihak istri sehingga suami merasa bahwa dirinya adalah pihak yang berkuasa dan memiliki harga diri yang lebih tinggi, akibatnya suami dapat memperlakukan istri secara semena-mena.
Disamping faktor ekonomi, faktor pendidikan merupakan hal sensitif yang dapat memunculkan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kesenjangan pendidikan antara suami dan istri memunculkan semacam perbedaan antara suami dan istri. Terlebih pandangan masyarakat yang masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi. Status pendidikan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada pekerjaan dan besarnya pendapatan yang diterima. Dengan kondisi perempuanyang harus mengalah dalam hal pendidikan, maka dalam rumah tangga status pendidikan suami lebih tinggi dari istri sehingga suami memiliki perasaan nilai dan harga yang lebih dari istri karena dianggap lebih tahu dan lebih pintar.
Pandangan yang masih berkembang dalam masyarakat saat ini adalah kasus kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga hanya menjadi urusan keluarga saja dan masalah tersebut merupakan aib keluarga yang harus ditutup-tutupi sehingga interaksi dengan masyarakat dan lembaga pun menjadi sangat minimal. Akibatnya, banyak kasus kekerasan yang tidak terlaporkan baik pada lembaga hukum maupun LSM yang ada dan penanganan terhadap kasus tersebut juga belum optimal.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kekerasan terhadap perempuan terutama yang terjadi di dalam rumah tangga erat kaitannya dengan gender dan budaya yang berkembang di masyarakat dan , serta faktor ekonomi dan pendidikan menjadi penyebab yang paling sering menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan lain, kasus kekerasan sangan sedikit yang dilaporkan dibanding dengan kasus yang terjadi di masyarakat.
B.SARAN
1.Setiap perempuan berani melaporkan kekerasan yang dialami kepada lembaga yang berkompeten.
2.Meningkatkan komunikasi dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri.
3.Pemerintah dan LSM lebih peka terhadap kasus-kasus kekerasan terhadapa perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.-----. Kekerasan dan Konflik Rumah Tangga Serta Solusinya
http://www.idlo.int/docnews/239DOC1.pdf. Diakses pada tanggal 22 Juli
2010.
Sukerti, Ni Nyoman. 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga
(Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender). http://ejournal.unud.ac.id/ abstrak/kekerasan%20rt% 20sukerti.pdf. Diakses pada tanggal 22 Juli 2010.
Widyastuti, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya: Yogyakarta
Yunita, Ken. 2006. Meski Turun, Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga Masih
Tinggi. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/ 12/tgl/28/time/124755/idnews/724839/idkanal/10. Diakses pada tanggal 22 Juli 2010.
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini masih belum dapat teratasi secara maksimal. Meskipun telah ada deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 1993, namun tampaknya belum dapat mengungkap secara lebih dalam berbagai kasus kekersan terhadap perempuan. Menangani kasus kekerasan terhadap perempuan memang bukan perkara yang mudah, hal ini disebabkan banyaknya kasus yang tidak terungkap di permukaan seperti halnya fenomena gunung es yang berarti kasus yang terjadi di masyarakat lebih banyak dari kasus kekerasan yang dilaporkan, sehingga penanganan kasus tersebut belum bisa menyeluruh dan optimal.
Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu issue yang menarik terutama di tengah-tengah arus globalisasi dimana teknologi dan akses informasi berkembang dengan sangat cepat. Tidak menutup kemungkinan dengan perkembangan teknologi dan akses informasi, kasus kekerasan terhadap perempuan dapat terekspose dan terungkap kepermukaan. Data yang dihimpun oleh beberapa lembaga tentang kasus kekerasan terhadap perempuan seperti Komisi Nasional Perempuan mencatat peningkatan jumlah kekerasan meningkat 213 persen dan mencapai angka 54.425 kasus pada tahun 2008 di bandingkan tahun sebelumnya (mardoto, 2009).
Beberapa Negara, kasus kekerasan terhadap perempuan juga menunjukan jumlah yang relatif tinggi. Data yang dikeluarkan UNIFEM (United Nations Development Fund for Women) tentang kekerasan menunjukan bahwa di Turk jumlah perempuan yang mengalami kekerasan oleh pasangannya mencapai 57,9 % pada taun 1998. Di India, jumlahnya mencapai 49% pada tahun 1999, di Amerika Serikat jumlahnya mencapai 22,1 %. Di Banglades, laporan terakhir tahun 2000 menyebutkan 60 % perempuan menikah mengalami kekerasan oleh suami. Di Indonesia sendiri, sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 % dari total penduduk Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan (Sukerti, 2008).
Kasus kekerasan yang dialami perempuan 90 % terjadi dalam rumah tangga. Kasus tersebut meningkat dua kali lipat pada tahun 2008 dari tahun sebelumnya. Mayoritas perempuan mendapatkan kekerasan berupa kekerasan ekonomi, yaitu sebanyak 6.800 orang dari 46.882 kasus kekerasan terhadap istri. Mitra Perempuan mencatat perempuan yang mengalami kekerasan psikis menduduki urutan pertama kekerasan dalam rumah tangga. Urutan selanjutnya, perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 63,99 %, perempuan yang ditelantarkan ekonominya sebanyak 63,69 %, kekerasan seksual sebanyak 30,95 % ( Yunita, 2006). Dari data tersebut menunjukan bahwa dampak dari kekerasan yang dialami perempuan tidak dari segi fisik saja tetapi juga berdampak pada masalah psikologi.
B.RUMUSAN MASALAH
Apakah ada hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan tingkat ekonomi, pendidikan, budaya, gender, dan interaksi sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
Perempuan merupakan makhluk yang sangat rentan terhadap tindak kekerasan. Kasus kekerasan perempuan terjadi selama ini dialami tidak lepas dari status sosial perempuan itu sendiri. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2001), status adalah keadaan atau kedudukan orang atau badan dan sebagainya dalam hubungannya dengan masyarakat dan sekitarnya. Sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Sehinggan status sosial perempuan dapat diartikan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Menurut Sukanto Soerjono (1990) dalam Widyastuti (2009), status sosial atau kedudukan sosial adalah tempat secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya.
Menurut Widyastuti (2009), status perempuan mencakup dua aspek yaitu aspek otonomi perempuan dan aspek kekuasaan sosial. Aspek otonomi permpuan dideskripsikan sejauh mana perempuan dapat mengontrol ekonomri atas dirinya dibanding dengan pria. Sedangakan aspek kekuasaan sosial menggambarkan seberapa pengaruhnya perempuan terhadaporang lain di luar rumah tangganya. Status perempuan sendiri meliputi status reproduksi dan status produksi. Status reproduksi yaitu perempuan sebagai pelestari keturunan. Apabila perempuan tidak mampu melahirkan anak, maka status sosialnya dianggap rendah rendah dibanding dengan permpuan yang bisa mempunyai anak. Sedangkan status produksi yaitu sebagai pencari nafkah dan bekerja di luar. Santrock (2002) dalam Widyastuti (2009) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja akan meningkatkan harga diri. Perempuan yang bekerja mempunyai status yang lebih tinggi dibaning dengan perempuan yang tidak bekerja.
Adanya status perempuan dalam masyarakat, maka akan memunculkan peran permpuan itu sendiri dalam kehidupan masyarakat. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2001), peran berarti tingkah lakuyang diharapkan yang dimiliki perempuan sehubungan dengan kedudukannya dalam masyarakat. Menurut Soekanto Soerjono (1990) dalam Widyastuti (2009), peranan (role) merupakan dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.
Kartono Kartini (1992) dalamWidyastuti (2009) menjelaskan peran perempuan dalam kedudukannya dalam keluarga, yaitu (1) ibu rumah tangga penerus generasi. Perempuan berperan aktif salam peningkatan kualitas generasi penerus sejak dlam kandungan. (2) istri dan teman hidup patner seks. Sikap istri mendampingi suami merupakan relasi dalam hubungan yang setara sehingga dapat tercapai kasih sayang dan kelanggengan perkawinan. (3) Pendidik anak. Anak memperoleh pendidikan sejak di dalam kandungan. Memberikan contoh berperilaku yang baik karena anak belajar berperilaku dari keluarga ibu dapat memberikan pendidikan akhlaq, budi pekerti, pendidikan masalah reproduksi. (4) pengatur rumah tangga. Perempuan menjaga, memelihara mengatur rumah tangga, menciptakan ketenangan keluarga. Istri mengatur ekonomi keluarga, memelihara kesehatan keluarga, menyiapkan makanan yang bergizi tiap hari, menumbuhkan rasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap sanitasi rumah tangga juga menciptakan pola hidup sehat jasmani, rohani dan sosial.
Perempuan, dalam menjalankan perannya dalam kedudukannya dalam rumah tangga sering mendapatkan suatu tindak kekerasan. Kasus kekerasan alam rumah tangga merupakan kasus kekerasan tertinggi yang dialami perempuan hingga mencapai 90% dari semua kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran. Dalam artikel yang diterbitkan oleh IDLO mencantumkan Undang-undang perlindungan perempuan yaitu Pasal 1 (1) Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan sendiri dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu (1)kekerasan psikis berupa mencemooh, mencerca, menghina, memaki, mengancam, melarang berhubungan dengan keluarga atau kawan dekat/masyarakat, intimidasi, isolasi, melarang istri bekerja. (2) kekerasan fisik berupa memukul, membakar, menendang, melempar sesuatu, menarik rambut, mencekik, dll. (3) kekerasan ekonomi berupa tidak memberi nafkah, memaksa pasangan untuk prostitusi, memaksa anak untuk mengemis, mengetatkan istri dalam keuangan dalam rumah tangga, dll. (4) kekerasan seksual berupa pemerkosaan, pencabulan, pemaksaan kehendak atau melakukan penyerangann seksual, berhubungan dengan istri tetapi istri tidak menginginkan (Widyastuti, 2009).
Kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari issue gender dan jenis kelamin. Menurut Kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA (2001) dalam Widyastuti (2009), gender merupakan perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman akibat kontruksi sosial. Sedangkan jenis kelamin atau seks diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Beberapa teori menjelaskan mengenai gender. Menurut Kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA (2001) dalam Widyastuti (2009), ada 3 teori tentang gender yaitu teori nuture, teori nature dan teori equilibrium/keseimbangan. Teori nurture menjelaskan suatu rumusan yang dibentuk oleh masyarkat mengakibatkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dianggap sama dengan kaum yang berkuasa/penindas (Borjuis), sendangkan kaum perempuan sebagai kaum yang tertindas, terperdaya (proletar). Teori nature memandang adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki merupakan takdir Tuhan yang mesti diterima manusia sebagai makhluk ciptaannya. Adanya perbedan secara biologis merupakan pertanda perbedaan tugas dan peran yang mana tugas dan peran tersebut ada yang dapat digantikan tetapi ada yang tidak karena takdir alamiah. Teori equilibrium/keseimbangan menjelaskan hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang saling menyempurnakan, karena setiap laki-laki dan perempuan memiliki kelemahan dan keutamaan masing-masing, harus saling bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Adanya issue gender yang muncul,erat kaitanya dengan munculnya diskriminasi gender, termasuk kekerasan seperti suami yang memperketat istri dalam urusan ekonomi alam rumah tangga, suami melarang istri bersosialisasi dimasyarakat, suami membakar dan memukul istri. Alasan yang menjadi penyebab tindak kekerasan oleh pria lebih disebabkankarena hilangnya control terhadap arah hidup, maka pria mungkin menggunakan kekerasan untuk mengendalikan hidup orang lain, walaupun sikap ini salah, misalnya (1) tindakan kekerasan dapat mencapai suatu tujuan, bila terjadi konflik tanpa harus musyawarah kekerasan merupakan cara cepat penyelesaian masalah, dengan melakukan kekerasan pria merasa hidup lebih “berarti” kareana dengan berkelahi maka pria merasa menjadi lebih digdaya dan pada saat melakukan kekerasan pria merasa memperoleh “kemenangan” dan mendapatkan apa yang dia harapkan, maka korban akan menghindari pada konflik berikutnya karena untuk menghindari rasa sakit. (2) pria ia merasa berkuasa atas wanita. Bila pria merasa mempunyai istri “kuat” maka dia berusaha untuk melemahkan wanitaagar merasa tergantung padanya atau membutuhkannya. (3) Ketidak tahuan pria. Bila latar brlakang pria dari keluargayang selalu mengandalkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan masalah dan tidak menmengerti cara lain maka kekerasan merupakan jalan pertama da utama baginya sebagi cara yang jitu setiap ada kesulitan atau tertekan karena memang dia tidak pernah belajar cara lain untuk bersikap (Widyastuti, 2009).
Menurut Sukerti (2009), Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut di atas terjadi karena adanya keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki, bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian maka perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan sewenangwenang. Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki. Sistem ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan bahkan sampai pada tingkat kelas tinggi. Mulai dari individu, keluarga, masyarakat dan Negara. Dalam hal ini budaya yang berkembang pada suatu daerah berpengaruh terhadap gender .
Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri
atau terjadi begitu saja. Secara prinsif ada akibat tentu ada penyebabnya. Dalam
kaitan itu Fathul Djannah (2002) dalam Sukerti (2009) mengemukakan beberapa faktornya yaitu:
1.Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.
2.Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.
3.Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.
4.Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.
5.Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
6.Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Faktor ekonomi merupakan penyebab paling tinggi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Ketimpangan antara pendapatan suami dan istri menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Pendapatan suami yang lebih tinggi dapat menimbulkan ketergantungan pada pihak istri sehingga suami merasa bahwa dirinya adalah pihak yang berkuasa dan memiliki harga diri yang lebih tinggi, akibatnya suami dapat memperlakukan istri secara semena-mena.
Disamping faktor ekonomi, faktor pendidikan merupakan hal sensitif yang dapat memunculkan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kesenjangan pendidikan antara suami dan istri memunculkan semacam perbedaan antara suami dan istri. Terlebih pandangan masyarakat yang masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi. Status pendidikan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada pekerjaan dan besarnya pendapatan yang diterima. Dengan kondisi perempuanyang harus mengalah dalam hal pendidikan, maka dalam rumah tangga status pendidikan suami lebih tinggi dari istri sehingga suami memiliki perasaan nilai dan harga yang lebih dari istri karena dianggap lebih tahu dan lebih pintar.
Pandangan yang masih berkembang dalam masyarakat saat ini adalah kasus kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga hanya menjadi urusan keluarga saja dan masalah tersebut merupakan aib keluarga yang harus ditutup-tutupi sehingga interaksi dengan masyarakat dan lembaga pun menjadi sangat minimal. Akibatnya, banyak kasus kekerasan yang tidak terlaporkan baik pada lembaga hukum maupun LSM yang ada dan penanganan terhadap kasus tersebut juga belum optimal.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kekerasan terhadap perempuan terutama yang terjadi di dalam rumah tangga erat kaitannya dengan gender dan budaya yang berkembang di masyarakat dan , serta faktor ekonomi dan pendidikan menjadi penyebab yang paling sering menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan lain, kasus kekerasan sangan sedikit yang dilaporkan dibanding dengan kasus yang terjadi di masyarakat.
B.SARAN
1.Setiap perempuan berani melaporkan kekerasan yang dialami kepada lembaga yang berkompeten.
2.Meningkatkan komunikasi dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri.
3.Pemerintah dan LSM lebih peka terhadap kasus-kasus kekerasan terhadapa perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.-----. Kekerasan dan Konflik Rumah Tangga Serta Solusinya
http://www.idlo.int/docnews/239DOC1.pdf. Diakses pada tanggal 22 Juli
2010.
Sukerti, Ni Nyoman. 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga
(Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender). http://ejournal.unud.ac.id/ abstrak/kekerasan%20rt% 20sukerti.pdf. Diakses pada tanggal 22 Juli 2010.
Widyastuti, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya: Yogyakarta
Yunita, Ken. 2006. Meski Turun, Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga Masih
Tinggi. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/ 12/tgl/28/time/124755/idnews/724839/idkanal/10. Diakses pada tanggal 22 Juli 2010.
Komentar
Posting Komentar