I. KONDISI UMUM KEBUDAYAAN JAWA
Mendengar kata “budaya” maka spontan pikiran kita melayang jauh pada hal-hal yang berkaitan dengan tradisional dan memiliki kejayaan pada zamannya. Ada sebuah nuansa yang mempesona dari segala hal yang mentradisional itu. Keindahan, keramahan, keaslian, dan keceriaan terpancar dalam budaya tradisional itu. Indonesia sangat kaya akan budaya tradisional yang menyatu dalam keragaman masyarakat bangsa ini. Seni, sejarah, gaya hidup, dan nilai-nilai hidup yang tumbuh dan berkembang dalam setiap insan menyatu dalam kesatuan rasa masyarakat.
Kita ketahui bahwa adat adalah merupakan cerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa.
Oleh karena itu, maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena itu ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa.
Didalam negara Republik Indonesia ini, adat yang memiliki oleh daerah-daerah dan suku-suku bangsa adalah berbeda, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu yaitu Indonesia. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia itu dikatakan merupakan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti walaupun berbeda-beda menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang paling terlihat kekhasannya, karena suku Jawa adalah suku terbesar yang menjadi penduduk Indonesia.
Akan tetapi, keadaannya sudah cukup memprihatinkan. Misalnya, penggunaan bahasa Jawa yang sudah sulit diterapkan pada anak-anak dan remaja. Hasil penelitian Tim Jarlit Badan Perencana Daerah Propinsi DIY (2005) menunjukkan data bahwa pembelajaran bahasa Jawa di SD dan SMP menunjukkan; (a) kurangnya variasi metode pembelajaran, (b) media pembelajaran cukup memadai namun hanya berupa media tradisional seperti gambar dinding dan lain-lain. Hal ini menyebabkan bahasa Jawa menjadi terlihat membosankan dan menjadi momok karena katanya sulit.
Miris memang jika mengingat semuanya itu karena budaya tradisional itu mulai luntur dan hanya milik kaum tua belaka. Sedikit sekali generasi muda yang memiliki kesadaran dan terlibat dalam penghayatan budaya itu. Seni tradisional sudah mulai dilupakan dan tergantikan dengan seni modern yang lebih eksotis serta menggetarkan jiwa dan raga. Gaya hidup dalam sebuah kebersamaan dalam perjumpaan langsung mulai digeser dengan perkawanan dan komunikasi mutakhir ala kecanggihan tehnologi. Nilai-nilai hidup yang mengedapankan semangat dan kematangan spiritualitas mulai kalah dengan semangat konsumerisme dan materialistis.
Memang harus diakui bahwa keadaan zaman terus berjalan dan perubahan pun tak terelakkan seiring dengan euforia zaman. Kekuatan adaptasi yang ada dalam diri manusia mulai bekerja seiring dengan segala hal yang terjadi. Proses adaptasi inilah yang memunculkan proses “modifikasi” dalam kehidupan seseorang sebagai pribadi dan kelompok yang memunculkan budaya baru yang sering menganggap sebagai budaya modern yang memiliki kekinian. Kadangkala ada situasi yang terjebak pada primordialisme zaman sebagai yang terbaik dibandingkan zaman yang lain. Inilah yang kadang bisa memunculkan “kesombongan” masa yang lebih baik dari periode masa yang lain.
Celakanya, ada juga budaya dalam pengertian yang lebih luas yang menjadi trend sendiri dalam sebuah istilah khusus dalam “kejahatan terencana” dalam sebuah tatanan hidup bersama, seperti budaya korupsi, budaya kolusi, dan budaya nepotisme. Budaya ini telah menjamur di masyarakat kita dan bahkan identik dengan golongan tertentu yang memiliki harta dan kuasa. Budaya ini juga yang menyebabkan krisis mentalitas dan moralitas yang dahsyatnya melebihi krisis perkonomian global. Nyata sudah bahwa budaya itu begitu luas dan sangat multi-interpretasi.
Dengan kondisi yang seperti ini, sebagai orang Jawa sekaligus sebagai calon guru, kita seharusnya bisa nguri- uri basa Jawa. Jangan sampai kebudayaan kita luntur digerus jaman.
II. STRATEGI PEMBELAJARAN KEBUDAYAAN JAWA
Ada begitu banyak pengertian dan realita tentang budaya dan pendidikan mesti meng-cover hal itu dalam prosesnya sebagai sebuah wadah menyiapkan dan mematangkan paradigma dan cara hidup anak-anak bangsa. Ketika berbicara pada tataran tradisional maka sudah waktunya anak-anak bangsa dimotivasi dalam menghargai dan mencintai warisan budaya yang ada dalam seni, sejarah, gaya hidup, dan nilai-nilai kehidupan.
Tidak ada strategi maupun metode yang terbaik untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam proses pembelajaran, yang ada hanyalah strategi dan metode yang paling sesuai untuk tercapainya tujuan pembelajaran.
Strategi mengajar yang paling sesuai tergantung dengan kesenian atau kebudayaan apa yang akan dipelajari. Apabila kita akan mengajar teori mengenai kebuadayaan Jawa metode ceramah,diskusi dan tanya jawab adalah metode yang cukup sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran apabila tujuannya hanyalah agar siswa dapat menjelaskan kebudayaan yang dipelajarinya. Akan tetapi, akan lebih baik apabila guru menyediakan media untuk memudahkan siswa menerima materi dari guru. Misalnya guru menjelaskan tentang pewayangan, maka disini guru minimal menyediakan gambar tokoh-tokoh wayang agar mereka mengenal karakteristik wayang tersebut.
Apabila materi yang disampaikan menuntut adanya praktek seperti karawitan, tembang jawa atau lagu dolanan, tarian tradisional, maka guru tidak cukup hanya menjelaskan tanpa menunjukkan gerakan atau praktek langsung bersama siswa.
Misalnya apabila guru mengajarkan karawitan kepada anak-anak. Maka selain guru menjelaskan kepada siswa mengenai teori karawitan, guru juga dapat melakukan demonstrasi terlebih dahulu sebelum anak diajak praktek langsung berhadapan dengan instrumen karawitan, sehingga guru dapat memastikan anak dapat menguasai bagaimana cara menabuh instrumen tersebut dengan benar sebelum anak mempelajari instrumen karawitan yang lain.
Apabila media gamelan yang kita butuhkan tidak ada, sekarang sudah ada software virtual gamelan menggunakan Flash Macromedia. Esensi nilai suatu permainan sejatinya tak perlu hilang, tetapi medianya bisa berubah. Alat yang dibutuhkan cikup laptop atau komputer dan tepat untuk memainkannya pun bisa bisa menggunakan meja belajar. Program ini bisa dimasukkan dalam FD.Orang tak perlu repot membawa seperangkat gamelan untuk memainkan karawitan.
Program ini menolong siswa untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan mereka membangun kerja sama. Terlebih program ini berbasis IT yang digandrungi remaja dan anak-anak, karena seperti game online.
Kegandrungan remaja dan anak-anak pada permainan virtual telah mengubah perilaku mereka menjadi lebih individual. Kaum muda menjadi kurang diasah kemampuan bermain atau bekerja sama dalam kelompok.Dengan program ini, siswa dapat belajar bekerja sama dengan teman satu kelompok, karena harmonisasi musik dalam karawitan hanya bisa tercipta lewat kerja sama kelompok.
Begitu halnya dengan tarian, guru dapat mendemonstrasikan tarian di depan anak-anak. kemudian mereka diminta untuk mengikuti gerakan yang didemonstrasikan atau diajarkan. Saat anak-anak mengikuti gerakan guru, guru diharapkan dapat memiliki asisten yang ikut membantu untuk membenarkan gerakan tarian pada anak-anakapabila terjadi kesalahan.
Sedangkan untuk nyayian jawa atau lagu dolanan, guru dapat menggunakan metode audio atau audio visual. Sebaiknya guru juga ikut memberi contoh terlebih dahulu.
Kemampuan membaca sangat penting dimiliki seseorang, khususnya masyarakat terpelajar, sebab dalam kehidupan bermasyarakat kemampuan ini akan semakin kompleks. Seluruh aktivitas sehari-hari selalu melibatkan kemampuan membaca. Banyaknya informasi ini menimbulkan tekanan bagi para pendidik agar lebih selektif dalam menyiapkan bacaan yang sesuai untuk siswa-siswanya. Melihat begitu pentingnya kemampuan membaca bagi siswa, maka membaca merupakan modal utama dalam proses belajar.
Selama ini pengalaman menunjukkan bahwa pengajaran membaca pemahaman di sekolah dasar cenderung diabaikan. Banyak anggapan bahwa pengajaran membaca telah berakhir ketika seorang siswa dapat membaca dan menulis permulaan.
Pemahaman seseorang terhadap bacaan dapat dipengaruhi berbagai hal, diantaranya adalah kemampuan membaca seseorang itu sendiri, tingkat konsentrasi, perbendaharaan kosakata,dsb. Begitu halnya dengan siswa, aspek-aspek tersebut sangat mempengaruhi daya pemahamannya. Telah banyak diketahui bahwa penerapan strategi membaca sangat berpengaruh terhadap tingkat pemahaman seseorang.
Citra bahasa Jawa yang selama ini kurang mendapat perhatian siswa, sangat berpengaruh terhadap pengajaran membaca dan keterampilan siswa dalam membaca bacaan berbahasa Jawa.
Siswa sering mengalami kesulitan memahami bacaan berbahasa Jawa, karena selain kurangnya referensi bacaan berbahasa Jawa untuk sekolah dasar dan kesulitan dalam membedakan antara tulisan dengan ucapannya.
Masalah-masalah di atas menuntut agar pengajaran membaca pemahaman harus segera diperbaiki, agar tidak berlarut-larut dan menghadirkan maslah baru yang lebih rumit. Untuk itu perlu adanya penggunaan strategi DRTA (Directed Reading Thingking Activity) sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki rendahnya keterampilan membaca siswa. Strategi ini merupakan strategi untuk pengajaran membaca pemahaman.
Strategi DRTA ini lebih memfokuskan keterlibatan siswa dengan teks, karena siswa memprediksi dan membuktikannya ketika membaca. Awalnya siswa diajak membuat prediksi tentang apa yang terjadi dalam suatu teks lewat media bergambar yang dapat mendorong anak-anak berfikir tentang pesan teks. Kemudian dalam membuat prediksi, siswa menggunakan latar belakang pengetahuan mereka tentang topic dan pengetahuan tentang pola susunan teks. Prediksi masing-masing anak akan berbeda, karena siswa berfikir sesuai dengan jalan pikiran siswa sendiri dan guru harus menerima semua prediksi yang dikemukakan siswa dalam memahami isi suatu bacaan. Kelebihan strategi DRTA ini terletak pada kemampuan analisis siswa. Disini siswa siajak berfikir, lebih tepatnya menggambarkan isi bacaan lewat suatu media terlebih dahulu sebelum siswa membaca bacaan yang akan diberikan. Dengan demikian daya pemahaman siswa telah mencocokan prediksi dengan bacaan yang telah dibaca menjadi lebih kuat.
Penggunaan strategi DRTA ini dibutuhkan suatu media yang mendukung seperti gambar. Gambar yang digunakan tidak hanya sekadar gambar yang dapat diambil dari berbagai sumber, tetapi gambar yang didalamnya mengandung unsure cerita atau gambar yang memiliki alur. Gambar tersebut banyak ditemukan pada buku fiksi anak, misalnya fable, dongeng, komik dan sejenisnya. Oleh karena itu, dengan penerapan strategi ini kemampuan membaca pemahaman siswa semakin meningkat, khususnya pada bahasa Jawa.
Lewat proses pembelajaran kontekstual guru juga bisa berusaha membuat link dan pemaknaan atas proses pembelajaran itu sendiri. Memasukkan budaya tradisional dalam konteks lokal atau keadaan lingkungan anak didik adalah sebuah model kurikulum handal dalam mendampingi anak-anak menuju pemahaman global lewat kenyataan lokal. Bicara tentang keadaan atau muatan lokal tidak sama halnya dengan membuat mata pelajaran baru yang diberi lebel lokal, seperti adanya mata pelajaran Bahasa Jawa atau bahasa lainnya di daerah lain. Sesungguhnya muatan lokal dapat terintegrasi dalam mata pelajaran yang ada sehingga keadaan atau muatan lokal menjadi sarana dalam setiap pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh, lewat pembelajaran bersama sang guru, anak-anak melakukan sebuah penelusuran tentang budaya sesuai etnis masing-masing. Seperti halnya, anak-anak Jawa mencoba menyelusuri tentang musik, tarian, peninggalan, dan kekhasan budaya Jawa demikian pula anak-anak dari etnis yang lain. Pada akhirnya anak-anak akan membuat sebuah pameran budaya di kelas. Mereka memiliki stan-stan sederhana tentang budaya tertentu yang berupa gambar, deskripsi, bahkan benda. Mereka juga melakukan promosi budaya lewat presentasi singkat dan berlanjut pada sebuah komunikasi lintas budaya dalam sesi tanya-jawab di kelas itu.
Pameran budaya yang dilakukan sang guru dalam kelas itu benar-benar memberikan pemahaman yang begitu luas akan kekayaaan budaya bangsa. Bahkan lebih dari itu, mulai menumbuhkan perhatian dan kecintaan anak-anak pada aspek-aspek budaya yang ada. Tampak beberapa anak-anak yang menyatakan bahwa mulai tertarik untuk belajar gamelan dan tarian. Bahkan ada juga sebuah stan pameran yang menyebut stannya dengan “Biro Wisata Budaya”. Dalam stan itu tersedia berbagai keunikan budaya yang ada di lingkungan sekitar (Semarang) dan dia menawarkan sebuah wisata budaya yang memiliki beberapa tempat pilihan untuk menikmati dan mempelajari budaya-budaya di Kota Semarang. Ada sebuah keadaan lain di mana anak-anak yang berbeda etnis mulai saling memahami dan menghargai satu sama lain sebagai sebuah kekayaan bangsa.
Dalam sebuah pembelajaran yang lain, sang guru melakukan sebuah proses pembelajaran untuk menguak budaya modern. Di kelas yang dinamai “Kelas Modern, Kelas Budaya” itu, anak-anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan apapun yang mereka pikirkan dan imaginasikan tentang budaya modern. Ada sekelompok anak membuat film singkat yang berdurasi sekitar 6-10 menit yang memunculkan fenomena-fenomena hidup modern, seperti pesta-pesta, gaya anak nongkrong, sindrom mal, kemewahan tehnologi, dan masih banyak lagi. Ada juga kelompok yang membuat film yang mengkontraskan antara budaya tradisioanal (kuno) dan budaya modern, seperti tari tradisional vs dance, musik tradisional vs musik modern (rock, jazz, hip hop), pakain, dan berbagai aneka pengkontrasan.
Bahkan ada beberapa gambar-gambar layaknya sebuah karikatur akan keadaan bangsa. Budaya KKN menjadi sebuah kritikan tajam dalam gambar-gambar itu. Dengan pikiran dan kritikan seumuran anak-anak, mencoba menuangkan semuanya atas perilaku orang-orang dewasa yang mimpin bangsa ini.
Tentunya masih banyak hasil karya anak-anak dalam mengekspresikan ide dan rasa mereka atas budaya. Mereka belajar budaya lewat melihat secara dekat budaya itu dan mencoba mengekspresikan interpretasi mereka atas budaya itu. Proses ini telah menjadi sebuah budaya belajar bagi anak-anak dalam menjalani proses pendidikan menuju taraf insani. Ini menjadi sebuah momen yang indah dan menyenangkan bagi anak-anak untuk menumbuhkembangkan budaya belajar dari fenomena dan fakta yang ada di sekitar.
Budaya belajar atas budaya merupakan sebuah proses internalisasi berkesinambungan dalam mengasah pikiran yang kritis, hati yang bernurani, dan sikap yang peduli. Anak-anak mulai belajar kritis akan fenomena dan fakta yang ada di sekitarnya. Lewat sebuah penyelusuran informasi, menginterpretasikannya, dan akhirnya mengaktualisasikanya dalam hasil karya tertentu benar-benar menuntun anak-anak pada sebuah kemampuan berpikir yang holistik, logis, dan bertanggung jawab.
Eksplorasi, ekspresi, dan aktualisasi itu secara perlahan-lahan mengantar mereka pada kesadaran untuk mengolah rasa dan mengasah nurani mereka akan sesama, baik manusia atau pun lingkungannya. Kepekaan budaya hidup ini semakin lama, semakin terasah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pembelajaran kontekstual ini selalu memberi ruang dan waktu bagi anak-anak untuk belajar budaya apapun menjadi manusia yang terus mencintai budaya belajar. Akhirnya, pendidikan benar-benar menjadi lingkungan membudayakan budaya dalam membangun budaya yang baik bagi bangsa dan negara.
HARAPAN-HARAPAN
Fakta menunjukkan bahwa di muka bumi ini 6 -10 bahasa etnis hilang setiap tahun. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan menimpa bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah dengan penutur lebih kurang 75,5 juta orang atau terbanyak ke-11 di dunia ini jika tidak ada upaya nyata untuk melestarikannya (Rustono, 2005). Hal tersebut bisa menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi pendukung bahasa Jawa.
Langkah nyata yang kemudian dilakukan oleh pemerintah propinsi adalah pemberlakuan Kurikulum Bahasa Jawa SD-SLTA di Jawa Tengah yang berkonsekuensi pada pemberlakuan pelajaran bahasa Jawa hingga jenjang SMA/SMK mulai tahun 2005. Kebijakan ini merupakan sebuah langkah maju yang sangat bermakna. Hal ini mungkin dapat berimplikasi besar dan luas di tengah-tengah upaya pengembangan bahasa Jawa melalui jalur pendidikan formal. Namun, permasalahan tidak selesai sampai disini, menyajikan bahasa Jawa dalam wajah yang tidak menarik di hadapan generasi muda, tak ada bedanya dengan membinasakannya.
Indonesia memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan Indonesia. Sudah menjadi keharusan kita menjaga dan melestarikannya, karena saat ini arus globalisasi semakin tidak terkendali dan dapat meruntuhkan kebudayaan itu.
Pelestarian kebudayaan Jawa diharapkan kedepannya bisa semakin ditingkatkan. Dipatenkannya batik adalah milik Indonesia dan masuk dalam World Heritage Culture merupakan langkah yang baik untuk mengenalkan pada dunia tentang kebudayaan Jawa. Kita juga patut berbangga karena Solo Batik Carnival bisa sampai ke luar negeri. Akan tetapi, diharapkan juga yang melestarikan bukan hanya dari segelintir orang saja, Akan lebih baik lagi, apabila kita semua yang berusaha melestarikannya juga. Kita seharusnya lebih bangga memiliki kebudayaan yang ada di sekitar kita, kita tidak boleh kalah dengan orang asing yang merasa tertarik bahkan mau mempelajari yang akhirnya mereka lebih mahir dalam kebudayaan yang dimilikioleh kita sendiri. Kita harus lebih senang dan mau untuk mempelajari agar kebudayaan kita dapat kita pegang dengan kuat, jangan sampai tercuri atau diakui oleh negara lain yang baru-baru ini terjadi. Hal ini tentu tidak terlepas dari kesalahan kita sendiri sebagai bangsa yang kurang merasa bangga dan kurang merasa memiliki budayanya sendiri.
Kebudayaan Jawa memiliki kebudayaan yang tinggi. Semboyan kita pun diambil dari bahasa Jawa. Sebagai seorang guru pun kita harus bisa Tut Wuri Handayani, itupun diambil dari bahasa Jawa. Oleh karena itu, dari diri kita sendiri, mulailah belajar merasa memiliki budaya kita sendiri.
Mendengar kata “budaya” maka spontan pikiran kita melayang jauh pada hal-hal yang berkaitan dengan tradisional dan memiliki kejayaan pada zamannya. Ada sebuah nuansa yang mempesona dari segala hal yang mentradisional itu. Keindahan, keramahan, keaslian, dan keceriaan terpancar dalam budaya tradisional itu. Indonesia sangat kaya akan budaya tradisional yang menyatu dalam keragaman masyarakat bangsa ini. Seni, sejarah, gaya hidup, dan nilai-nilai hidup yang tumbuh dan berkembang dalam setiap insan menyatu dalam kesatuan rasa masyarakat.
Kita ketahui bahwa adat adalah merupakan cerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa.
Oleh karena itu, maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena itu ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa.
Didalam negara Republik Indonesia ini, adat yang memiliki oleh daerah-daerah dan suku-suku bangsa adalah berbeda, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu yaitu Indonesia. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia itu dikatakan merupakan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti walaupun berbeda-beda menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang paling terlihat kekhasannya, karena suku Jawa adalah suku terbesar yang menjadi penduduk Indonesia.
Akan tetapi, keadaannya sudah cukup memprihatinkan. Misalnya, penggunaan bahasa Jawa yang sudah sulit diterapkan pada anak-anak dan remaja. Hasil penelitian Tim Jarlit Badan Perencana Daerah Propinsi DIY (2005) menunjukkan data bahwa pembelajaran bahasa Jawa di SD dan SMP menunjukkan; (a) kurangnya variasi metode pembelajaran, (b) media pembelajaran cukup memadai namun hanya berupa media tradisional seperti gambar dinding dan lain-lain. Hal ini menyebabkan bahasa Jawa menjadi terlihat membosankan dan menjadi momok karena katanya sulit.
Miris memang jika mengingat semuanya itu karena budaya tradisional itu mulai luntur dan hanya milik kaum tua belaka. Sedikit sekali generasi muda yang memiliki kesadaran dan terlibat dalam penghayatan budaya itu. Seni tradisional sudah mulai dilupakan dan tergantikan dengan seni modern yang lebih eksotis serta menggetarkan jiwa dan raga. Gaya hidup dalam sebuah kebersamaan dalam perjumpaan langsung mulai digeser dengan perkawanan dan komunikasi mutakhir ala kecanggihan tehnologi. Nilai-nilai hidup yang mengedapankan semangat dan kematangan spiritualitas mulai kalah dengan semangat konsumerisme dan materialistis.
Memang harus diakui bahwa keadaan zaman terus berjalan dan perubahan pun tak terelakkan seiring dengan euforia zaman. Kekuatan adaptasi yang ada dalam diri manusia mulai bekerja seiring dengan segala hal yang terjadi. Proses adaptasi inilah yang memunculkan proses “modifikasi” dalam kehidupan seseorang sebagai pribadi dan kelompok yang memunculkan budaya baru yang sering menganggap sebagai budaya modern yang memiliki kekinian. Kadangkala ada situasi yang terjebak pada primordialisme zaman sebagai yang terbaik dibandingkan zaman yang lain. Inilah yang kadang bisa memunculkan “kesombongan” masa yang lebih baik dari periode masa yang lain.
Celakanya, ada juga budaya dalam pengertian yang lebih luas yang menjadi trend sendiri dalam sebuah istilah khusus dalam “kejahatan terencana” dalam sebuah tatanan hidup bersama, seperti budaya korupsi, budaya kolusi, dan budaya nepotisme. Budaya ini telah menjamur di masyarakat kita dan bahkan identik dengan golongan tertentu yang memiliki harta dan kuasa. Budaya ini juga yang menyebabkan krisis mentalitas dan moralitas yang dahsyatnya melebihi krisis perkonomian global. Nyata sudah bahwa budaya itu begitu luas dan sangat multi-interpretasi.
Dengan kondisi yang seperti ini, sebagai orang Jawa sekaligus sebagai calon guru, kita seharusnya bisa nguri- uri basa Jawa. Jangan sampai kebudayaan kita luntur digerus jaman.
II. STRATEGI PEMBELAJARAN KEBUDAYAAN JAWA
Ada begitu banyak pengertian dan realita tentang budaya dan pendidikan mesti meng-cover hal itu dalam prosesnya sebagai sebuah wadah menyiapkan dan mematangkan paradigma dan cara hidup anak-anak bangsa. Ketika berbicara pada tataran tradisional maka sudah waktunya anak-anak bangsa dimotivasi dalam menghargai dan mencintai warisan budaya yang ada dalam seni, sejarah, gaya hidup, dan nilai-nilai kehidupan.
Tidak ada strategi maupun metode yang terbaik untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam proses pembelajaran, yang ada hanyalah strategi dan metode yang paling sesuai untuk tercapainya tujuan pembelajaran.
Strategi mengajar yang paling sesuai tergantung dengan kesenian atau kebudayaan apa yang akan dipelajari. Apabila kita akan mengajar teori mengenai kebuadayaan Jawa metode ceramah,diskusi dan tanya jawab adalah metode yang cukup sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran apabila tujuannya hanyalah agar siswa dapat menjelaskan kebudayaan yang dipelajarinya. Akan tetapi, akan lebih baik apabila guru menyediakan media untuk memudahkan siswa menerima materi dari guru. Misalnya guru menjelaskan tentang pewayangan, maka disini guru minimal menyediakan gambar tokoh-tokoh wayang agar mereka mengenal karakteristik wayang tersebut.
Apabila materi yang disampaikan menuntut adanya praktek seperti karawitan, tembang jawa atau lagu dolanan, tarian tradisional, maka guru tidak cukup hanya menjelaskan tanpa menunjukkan gerakan atau praktek langsung bersama siswa.
Misalnya apabila guru mengajarkan karawitan kepada anak-anak. Maka selain guru menjelaskan kepada siswa mengenai teori karawitan, guru juga dapat melakukan demonstrasi terlebih dahulu sebelum anak diajak praktek langsung berhadapan dengan instrumen karawitan, sehingga guru dapat memastikan anak dapat menguasai bagaimana cara menabuh instrumen tersebut dengan benar sebelum anak mempelajari instrumen karawitan yang lain.
Apabila media gamelan yang kita butuhkan tidak ada, sekarang sudah ada software virtual gamelan menggunakan Flash Macromedia. Esensi nilai suatu permainan sejatinya tak perlu hilang, tetapi medianya bisa berubah. Alat yang dibutuhkan cikup laptop atau komputer dan tepat untuk memainkannya pun bisa bisa menggunakan meja belajar. Program ini bisa dimasukkan dalam FD.Orang tak perlu repot membawa seperangkat gamelan untuk memainkan karawitan.
Program ini menolong siswa untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan mereka membangun kerja sama. Terlebih program ini berbasis IT yang digandrungi remaja dan anak-anak, karena seperti game online.
Kegandrungan remaja dan anak-anak pada permainan virtual telah mengubah perilaku mereka menjadi lebih individual. Kaum muda menjadi kurang diasah kemampuan bermain atau bekerja sama dalam kelompok.Dengan program ini, siswa dapat belajar bekerja sama dengan teman satu kelompok, karena harmonisasi musik dalam karawitan hanya bisa tercipta lewat kerja sama kelompok.
Begitu halnya dengan tarian, guru dapat mendemonstrasikan tarian di depan anak-anak. kemudian mereka diminta untuk mengikuti gerakan yang didemonstrasikan atau diajarkan. Saat anak-anak mengikuti gerakan guru, guru diharapkan dapat memiliki asisten yang ikut membantu untuk membenarkan gerakan tarian pada anak-anakapabila terjadi kesalahan.
Sedangkan untuk nyayian jawa atau lagu dolanan, guru dapat menggunakan metode audio atau audio visual. Sebaiknya guru juga ikut memberi contoh terlebih dahulu.
Kemampuan membaca sangat penting dimiliki seseorang, khususnya masyarakat terpelajar, sebab dalam kehidupan bermasyarakat kemampuan ini akan semakin kompleks. Seluruh aktivitas sehari-hari selalu melibatkan kemampuan membaca. Banyaknya informasi ini menimbulkan tekanan bagi para pendidik agar lebih selektif dalam menyiapkan bacaan yang sesuai untuk siswa-siswanya. Melihat begitu pentingnya kemampuan membaca bagi siswa, maka membaca merupakan modal utama dalam proses belajar.
Selama ini pengalaman menunjukkan bahwa pengajaran membaca pemahaman di sekolah dasar cenderung diabaikan. Banyak anggapan bahwa pengajaran membaca telah berakhir ketika seorang siswa dapat membaca dan menulis permulaan.
Pemahaman seseorang terhadap bacaan dapat dipengaruhi berbagai hal, diantaranya adalah kemampuan membaca seseorang itu sendiri, tingkat konsentrasi, perbendaharaan kosakata,dsb. Begitu halnya dengan siswa, aspek-aspek tersebut sangat mempengaruhi daya pemahamannya. Telah banyak diketahui bahwa penerapan strategi membaca sangat berpengaruh terhadap tingkat pemahaman seseorang.
Citra bahasa Jawa yang selama ini kurang mendapat perhatian siswa, sangat berpengaruh terhadap pengajaran membaca dan keterampilan siswa dalam membaca bacaan berbahasa Jawa.
Siswa sering mengalami kesulitan memahami bacaan berbahasa Jawa, karena selain kurangnya referensi bacaan berbahasa Jawa untuk sekolah dasar dan kesulitan dalam membedakan antara tulisan dengan ucapannya.
Masalah-masalah di atas menuntut agar pengajaran membaca pemahaman harus segera diperbaiki, agar tidak berlarut-larut dan menghadirkan maslah baru yang lebih rumit. Untuk itu perlu adanya penggunaan strategi DRTA (Directed Reading Thingking Activity) sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki rendahnya keterampilan membaca siswa. Strategi ini merupakan strategi untuk pengajaran membaca pemahaman.
Strategi DRTA ini lebih memfokuskan keterlibatan siswa dengan teks, karena siswa memprediksi dan membuktikannya ketika membaca. Awalnya siswa diajak membuat prediksi tentang apa yang terjadi dalam suatu teks lewat media bergambar yang dapat mendorong anak-anak berfikir tentang pesan teks. Kemudian dalam membuat prediksi, siswa menggunakan latar belakang pengetahuan mereka tentang topic dan pengetahuan tentang pola susunan teks. Prediksi masing-masing anak akan berbeda, karena siswa berfikir sesuai dengan jalan pikiran siswa sendiri dan guru harus menerima semua prediksi yang dikemukakan siswa dalam memahami isi suatu bacaan. Kelebihan strategi DRTA ini terletak pada kemampuan analisis siswa. Disini siswa siajak berfikir, lebih tepatnya menggambarkan isi bacaan lewat suatu media terlebih dahulu sebelum siswa membaca bacaan yang akan diberikan. Dengan demikian daya pemahaman siswa telah mencocokan prediksi dengan bacaan yang telah dibaca menjadi lebih kuat.
Penggunaan strategi DRTA ini dibutuhkan suatu media yang mendukung seperti gambar. Gambar yang digunakan tidak hanya sekadar gambar yang dapat diambil dari berbagai sumber, tetapi gambar yang didalamnya mengandung unsure cerita atau gambar yang memiliki alur. Gambar tersebut banyak ditemukan pada buku fiksi anak, misalnya fable, dongeng, komik dan sejenisnya. Oleh karena itu, dengan penerapan strategi ini kemampuan membaca pemahaman siswa semakin meningkat, khususnya pada bahasa Jawa.
Lewat proses pembelajaran kontekstual guru juga bisa berusaha membuat link dan pemaknaan atas proses pembelajaran itu sendiri. Memasukkan budaya tradisional dalam konteks lokal atau keadaan lingkungan anak didik adalah sebuah model kurikulum handal dalam mendampingi anak-anak menuju pemahaman global lewat kenyataan lokal. Bicara tentang keadaan atau muatan lokal tidak sama halnya dengan membuat mata pelajaran baru yang diberi lebel lokal, seperti adanya mata pelajaran Bahasa Jawa atau bahasa lainnya di daerah lain. Sesungguhnya muatan lokal dapat terintegrasi dalam mata pelajaran yang ada sehingga keadaan atau muatan lokal menjadi sarana dalam setiap pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh, lewat pembelajaran bersama sang guru, anak-anak melakukan sebuah penelusuran tentang budaya sesuai etnis masing-masing. Seperti halnya, anak-anak Jawa mencoba menyelusuri tentang musik, tarian, peninggalan, dan kekhasan budaya Jawa demikian pula anak-anak dari etnis yang lain. Pada akhirnya anak-anak akan membuat sebuah pameran budaya di kelas. Mereka memiliki stan-stan sederhana tentang budaya tertentu yang berupa gambar, deskripsi, bahkan benda. Mereka juga melakukan promosi budaya lewat presentasi singkat dan berlanjut pada sebuah komunikasi lintas budaya dalam sesi tanya-jawab di kelas itu.
Pameran budaya yang dilakukan sang guru dalam kelas itu benar-benar memberikan pemahaman yang begitu luas akan kekayaaan budaya bangsa. Bahkan lebih dari itu, mulai menumbuhkan perhatian dan kecintaan anak-anak pada aspek-aspek budaya yang ada. Tampak beberapa anak-anak yang menyatakan bahwa mulai tertarik untuk belajar gamelan dan tarian. Bahkan ada juga sebuah stan pameran yang menyebut stannya dengan “Biro Wisata Budaya”. Dalam stan itu tersedia berbagai keunikan budaya yang ada di lingkungan sekitar (Semarang) dan dia menawarkan sebuah wisata budaya yang memiliki beberapa tempat pilihan untuk menikmati dan mempelajari budaya-budaya di Kota Semarang. Ada sebuah keadaan lain di mana anak-anak yang berbeda etnis mulai saling memahami dan menghargai satu sama lain sebagai sebuah kekayaan bangsa.
Dalam sebuah pembelajaran yang lain, sang guru melakukan sebuah proses pembelajaran untuk menguak budaya modern. Di kelas yang dinamai “Kelas Modern, Kelas Budaya” itu, anak-anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan apapun yang mereka pikirkan dan imaginasikan tentang budaya modern. Ada sekelompok anak membuat film singkat yang berdurasi sekitar 6-10 menit yang memunculkan fenomena-fenomena hidup modern, seperti pesta-pesta, gaya anak nongkrong, sindrom mal, kemewahan tehnologi, dan masih banyak lagi. Ada juga kelompok yang membuat film yang mengkontraskan antara budaya tradisioanal (kuno) dan budaya modern, seperti tari tradisional vs dance, musik tradisional vs musik modern (rock, jazz, hip hop), pakain, dan berbagai aneka pengkontrasan.
Bahkan ada beberapa gambar-gambar layaknya sebuah karikatur akan keadaan bangsa. Budaya KKN menjadi sebuah kritikan tajam dalam gambar-gambar itu. Dengan pikiran dan kritikan seumuran anak-anak, mencoba menuangkan semuanya atas perilaku orang-orang dewasa yang mimpin bangsa ini.
Tentunya masih banyak hasil karya anak-anak dalam mengekspresikan ide dan rasa mereka atas budaya. Mereka belajar budaya lewat melihat secara dekat budaya itu dan mencoba mengekspresikan interpretasi mereka atas budaya itu. Proses ini telah menjadi sebuah budaya belajar bagi anak-anak dalam menjalani proses pendidikan menuju taraf insani. Ini menjadi sebuah momen yang indah dan menyenangkan bagi anak-anak untuk menumbuhkembangkan budaya belajar dari fenomena dan fakta yang ada di sekitar.
Budaya belajar atas budaya merupakan sebuah proses internalisasi berkesinambungan dalam mengasah pikiran yang kritis, hati yang bernurani, dan sikap yang peduli. Anak-anak mulai belajar kritis akan fenomena dan fakta yang ada di sekitarnya. Lewat sebuah penyelusuran informasi, menginterpretasikannya, dan akhirnya mengaktualisasikanya dalam hasil karya tertentu benar-benar menuntun anak-anak pada sebuah kemampuan berpikir yang holistik, logis, dan bertanggung jawab.
Eksplorasi, ekspresi, dan aktualisasi itu secara perlahan-lahan mengantar mereka pada kesadaran untuk mengolah rasa dan mengasah nurani mereka akan sesama, baik manusia atau pun lingkungannya. Kepekaan budaya hidup ini semakin lama, semakin terasah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pembelajaran kontekstual ini selalu memberi ruang dan waktu bagi anak-anak untuk belajar budaya apapun menjadi manusia yang terus mencintai budaya belajar. Akhirnya, pendidikan benar-benar menjadi lingkungan membudayakan budaya dalam membangun budaya yang baik bagi bangsa dan negara.
HARAPAN-HARAPAN
Fakta menunjukkan bahwa di muka bumi ini 6 -10 bahasa etnis hilang setiap tahun. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan menimpa bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah dengan penutur lebih kurang 75,5 juta orang atau terbanyak ke-11 di dunia ini jika tidak ada upaya nyata untuk melestarikannya (Rustono, 2005). Hal tersebut bisa menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi pendukung bahasa Jawa.
Langkah nyata yang kemudian dilakukan oleh pemerintah propinsi adalah pemberlakuan Kurikulum Bahasa Jawa SD-SLTA di Jawa Tengah yang berkonsekuensi pada pemberlakuan pelajaran bahasa Jawa hingga jenjang SMA/SMK mulai tahun 2005. Kebijakan ini merupakan sebuah langkah maju yang sangat bermakna. Hal ini mungkin dapat berimplikasi besar dan luas di tengah-tengah upaya pengembangan bahasa Jawa melalui jalur pendidikan formal. Namun, permasalahan tidak selesai sampai disini, menyajikan bahasa Jawa dalam wajah yang tidak menarik di hadapan generasi muda, tak ada bedanya dengan membinasakannya.
Indonesia memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan Indonesia. Sudah menjadi keharusan kita menjaga dan melestarikannya, karena saat ini arus globalisasi semakin tidak terkendali dan dapat meruntuhkan kebudayaan itu.
Pelestarian kebudayaan Jawa diharapkan kedepannya bisa semakin ditingkatkan. Dipatenkannya batik adalah milik Indonesia dan masuk dalam World Heritage Culture merupakan langkah yang baik untuk mengenalkan pada dunia tentang kebudayaan Jawa. Kita juga patut berbangga karena Solo Batik Carnival bisa sampai ke luar negeri. Akan tetapi, diharapkan juga yang melestarikan bukan hanya dari segelintir orang saja, Akan lebih baik lagi, apabila kita semua yang berusaha melestarikannya juga. Kita seharusnya lebih bangga memiliki kebudayaan yang ada di sekitar kita, kita tidak boleh kalah dengan orang asing yang merasa tertarik bahkan mau mempelajari yang akhirnya mereka lebih mahir dalam kebudayaan yang dimilikioleh kita sendiri. Kita harus lebih senang dan mau untuk mempelajari agar kebudayaan kita dapat kita pegang dengan kuat, jangan sampai tercuri atau diakui oleh negara lain yang baru-baru ini terjadi. Hal ini tentu tidak terlepas dari kesalahan kita sendiri sebagai bangsa yang kurang merasa bangga dan kurang merasa memiliki budayanya sendiri.
Kebudayaan Jawa memiliki kebudayaan yang tinggi. Semboyan kita pun diambil dari bahasa Jawa. Sebagai seorang guru pun kita harus bisa Tut Wuri Handayani, itupun diambil dari bahasa Jawa. Oleh karena itu, dari diri kita sendiri, mulailah belajar merasa memiliki budaya kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar